Gerakan Feminisme melalui Kampanye #metoo dan #mosquemetoo

April 21, 2018

Anti kekerasan seksual pada perempuan menjadi salah satu  topik utama yang dikampanyekan pada agenda women march bulan maret lalu. Topik kekerasan seksual pada perempuan juga menjadi topik panas di media sosial dengan viralnya gerakan #metoo. Sebagaimana disampaikan oleh Tarana Burke, penggagas gerakan #metoo, kampanye #metoo adalah gerakan yang menyuarakan anti kekerasan seksual di tempat kerja. Melalui tagar ini, setiap orang terutama perempuan menyuarakan pengalaman kekerasan seksual yang pernah mereka alami ketika bekerja. Gerakan  #metoo ini mendapat perhatian besar di dunia internasional terutama ketika pelecehan seksual yang dilakukan oleh Produser Hollywood Harvey Weinstein terungkap.


Serupa dengan gerakan #metoo, Mona Eltahawy memulai gerakan #mosquemetoo dimana gerakan ini mengungkap kasus pelecehan seksual pada perempuan ketika melakukan ibadah di tanah suci. Melalui wawancara dengan The Washington Post, Eltahawy mengungkapkan alasannya memulai gerakan #mosquemetoo dimana gerakan ini berdasarkan dari pengalaman yang pernah ia alami sendiri. Dalam wawancara tersebut, ia juga menyampaikan pendapatnya mengenai kesetaraan gender dalam Islam. Menurutnya, saat ini telah mulai berkembang dengan apa yang disebut dengan  Islam Feminisme.  Eltahawy mengaku bahwa dirinya adalah seorang feminis dan seorang muslim.. 

Kedua gerakan ini sesungguhnya muncul karena maraknya pelecehan seksual yang terjadi pada kaum perempuan. Tidak dapat dipungkiri pula bahwa gerakan ini pun banyak mendapat dukungan dari kaum feminis. Ketika pelaksanaan women march berlangsung, salah satu hal yang menjadi tuntutan dari kaum feminis adalah penegakan hukum terkait pelecehan seksual. Bermunculan pula slogan-slogan yang mengusung tentang pelecehan seksual terhadap kaum perempuan seperti “Tubuhku otoritasku”, “Jangan atur tubuhku”, “Bukan baju gue yang porno tapi otak lo”, dan lain sebagainya. Lalu bagaimana Islam memandang gerakan-gerakan ini?

Feminisme dan Islam, keduanya menawarkan solusi untuk menyelesaikan permasalahan atas maraknya pelecehan sosial pada kaum perempuan. Feminisme menganggap bahwa kaum perempuan selalu disalahkan atas pelecehan seksual yang mereka alami terutama karena pakaian mereka. Perempuan seakan tidak memiliki kebebasan atas tubuhnya sendiri karena batasan-batasan berpakaian  maupun bersikap yang harus mereka ikuti. Jika perempuan memiliki batasan-batasan yang harus mereka patuhi, mengapa kaum lelaki tidak? Mereka beranggapan bahwa seharusnya kesalahan tidak selalu diarahkan pada kaum perempuan sehingga menyebabkan perempuan tidak dapat secara bebas mengekspresikan diri mereka. Kaum lelaki pun harus memiliki tanggung jawab untuk menahan nafsu mereka.

Apa yang ditawarkan oleh feminisme tersebut sangat bertentangan dengan solusi Islam. Terlebih terhadap  bagaimana seharusnya perempuan memandang otoritas atas tubuh mereka. Dalam Islam, perempuan adalah makhluk sehingga yang memiliki otoritas tertinggi atas tubuh perempuan adalah penciptanya, Allah swt. Dalam Al Quran sebagai kalamullah, maka telah dijelaskan aturan tentang bagaimana perempuan berpakaian. 

Hai Nabi, katakanlah kepada isteri-isterimu, anak-anak perempuanmu dan isteri-isteri orang mukmin: “Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka“. Yang demikian itu supaya mereka lebih mudah untuk dikenal, karena itu mereka tidak di ganggu. Dan Allah adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS. Al Ahzab: 59).

Katakanlah kepada orang laki-laki yang beriman: “Hendaklah mereka menahan pandanganya, dan memelihara kemaluannya; yang demikian itu adalah lebih suci bagi mereka, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang mereka perbuat”.  Katakanlah kepada perempuan yang beriman: “Hendaklah mereka menahan pandangannya, dan kemaluannya, dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya, kecuali yang (biasa) nampak dari padanya. Dan hendaklah mereka menutupkan kain kudung ke dadanya, dan janganlah menampakkan perhiasannya kecuali kepada suami mereka, atau ayah mereka, atau ayah suami mereka, atau putera-putera mereka, atau putera-putera suami mereka, atau saudara-saudara laki-laki mereka, atau putera-putera saudara lelaki mereka, atau putera-putera saudara perempuan mereka, atau perempuan-perempuan islam, atau budak- budak yang mereka miliki, atau pelayan-pelayan laki-laki yang tidak mempunyai keinginan (terhadap perempuan) atau anak-anak yang belum mengerti tentang aurat perempuan. Dan janganlah mereka memukulkan kakinyua agar diketahui perhiasan yang mereka sembunyikan. Dan bertaubatlah kamu sekalian kepada Allah, hai orang-orang yang beriman supaya kamu beruntung.” (QS. An Nur: 30-31).

Sehingga jika melihat posisi perempuan sebagai makhluk Allah, maka terdapat batasan-batasan tentang bagaimana mereka bertingkah laku termasuk menentukan pakaian seperti apa yang memang harus mereka kenakan. Kesadaran ini yang harus dimiliki oleh setiap muslimah. Karena sesungguhnya, aturan-aturan yang diberikan oleh Allah hadir untuk memuliakan mereka. Kebebasan berpikir dan berekspresi tidak dapat dijadikan dalil untuk menomorduakan aturan Allah. Karena konsep kebebasan-kebebasan tersebut lahir dari pemikiran manusia yang lemah dan terbatas. 

Hal lain yang perlu diwasapadai yaitu pemikiran-pemikiran yang mencoba mencampuradukkan antara feminisme dan Islam. Bahwa pemikiran-pemikiran feminisme sebenarnya tidak bertentangan dengan Islam dan bisa disejajarkan dengan Islam. Sebagai contoh kasus pelarangan cadar yang dilakukan salah satu Perguruan Tinggi Islam di Indonesia. Kaum feminis menyuarakan ketidaksetujuan mereka atas kasus tersebut, tetapi dengan slogan “cadarku otoritasku”. Slogan tersebut memiliki dasar pemikiran yang sama dengan slogan feminis lain, “Tubuhku otoritasku”. 

Selain itu, sosok Eltahawy yang hadir dengan kampanye #mosquemetoo dan mengusung Islam Feminisme. Kampanye dari #mosquemetoo secara tidak langsung menyiratkan bahwa tidak ada peran agama dalam menyelesaikan permasalahan pelecehan seksual dimana dalam hal ini Islam. Padahal Islam telah memberikan solusi yang jelas untuk menyelesaikan masalah pelecehan seksual yang menimpa kaum perempuan. Selain penegakan hukum yang tegas, tindakan preventif dengan menciptakan lingkungan interaksi yang menentramkan bagi laki-laki dan perempuan juga perlu diciptakan.

Cuplikan video salah kaprah Islam Feminisme

Islam sendiri memiliki sistem pergaulan yang khas untuk mengatur hubungan lawan jenis antara laki-laki dan perempuan dengan aturan yang rinci. Aturan tersebut  menjaga naluri seksual yang mereka miliki agar hanya disalurkan dengan cara syar'i. Sehingga terdapat batasan tentang bagaimana laki-laki dan perempuan berinteraksi. Interaksi yang mengarah pada hubungan lawan jenis atau hubungan yang bersifat seksual semata jelas dijauhkan. Sedangkan berkaitan dengan aurat perempuan, maka Islam mengatur muslimah untuk menampakkan bagian anggota tubuh tempat melekatnya perhiasan kepada mahramnya saja. Ketika ia beraktivitas di luar rumah atau kehidupan umum, maka wajib untuk menutup aurat sesuai ketentuan Islam yaitu tertutupnya seluruh tubuh kecuali wajah dan telapak tangan. Perempuan dalam Islam juga hanya diperbolehkan hidup bersama dengan sesama perempuan dan mahramnya.

Jadi, Islam dan Feminisme sesungguhnya tidak bisa dikatakan sejalan karena konsep pemikiran keduanya jelas berbeda dalam memandang kaum perempuan. Islam menempatkan perempuan sebagai makhluk Allah sehingga bagaimana ia memandang auratnya harus disesuaikan dengan aturan Allah. Kebebasan berekspresi yang digaungkan feminisme juga tidak boleh diambil oleh muslimah karena bagi muslimah ada aturan-aturan Allah yang menjadi pedoman baginya dalam bertingkah laku. Cukup Islam sebagai solusi karena solusi yang hakiki hanya datang dari Sang Pencipta bukan dari terbatasnya akal manusia.

    You Might Also Like

    0 comments