Indonesia menempati urutan pertama sebagai Negara terkorup
di Asia (Transparancy Internasional, 2005). Korupsi seakan sudah menjadi budaya yang lestari dari tingkat teri hingga
kakap. Korupsi sendiri sangatlah lekat dengan lembaga maupun instansi pemerintahan
karena memang mayoritas tokoh korup yang tertangkap adalah tokoh-tokoh yang
duduk di lembaga dan instansi pemerintahan. Aliran uang terbanyak juga bergulir
di pemerintahan karena banyak sumber dana yang menaglir ke sana mulai dari
pajak hingga pengelolaan SDA Indonesia.
Sekarang jika melihat kondisi tokoh/pejabat yang kini duduk
di pemerintahan, bagaimana langkah-langkah mereka untuk dapat duduk di
pemerintahan tersebut? Berapa banyakkah baliho-baliho, poster-poster yang
dipasang untuk kampanye mereka? Berapa besar biaya yang harus dikeluarkan untuk
menarik simpatisan yang mau mendukung mereka? Mungkinkah modal tersebut
benar-benar dikeluarkan tanpa berkeinginan adanya timbal balik?
Sistem pemilihan yang mengandalkan suara terbanyak mendorong
setiap tokoh yang menginginkan posisi di pemerintahan berlomba untuk merebut
simpati pemilih. Demi mendapat suara terbanyak, tidak sedikit dana yang
digelontorkan. Dari ratusan juta hingga milyaran. Dari mana modal dana tersebut
diperoleh? Tentu ada sokongan dari pemilik modal di luar tokoh tersebut baik
pengusaha maupun parpol yang mengusung tokoh tersebut.Bahkan sering juga
diberitakan asal dana kampanye tersebut berasal dari sumber dana fiktif. Sumber
dana fiktif ini pun diindikasikan sebagai sumber dana korupsi. Korupsi lagi?
Jika melihat sumber dana kampanye, bukan tidak mungkin posisi tokoh yang
dicalonkan yang nantinya menempati jabatan di pemerintahan akan mengusung
kepentingan-kepentingan dari parpol dan pengusaha/pemilik modal yang
menyumbangkan rupiahnya untuk mereka. Sehingga tidak heran jika pemerintah pun
letoy jika berhadapan dengan para pengusaha / pemilik modal tersebut. Sebagai
contoh dapat dilihat ...
http://www.kedaiberita.com/index.php/Suara-Pembaca/sbsi-92-pemerintah-takluk-dengan-pemodal.html dan http://www.republika.co.id/berita/nasional/umum/12/01/18/lxz7lg-pemerintah-jegal-mobil-esemka.
http://www.kedaiberita.com/index.php/Suara-Pembaca/sbsi-92-pemerintah-takluk-dengan-pemodal.html dan http://www.republika.co.id/berita/nasional/umum/12/01/18/lxz7lg-pemerintah-jegal-mobil-esemka.
Dikarenakan hal tersebut, pengertian politik sendiri di
kalangan masyarakat awam menjadi tergeser.
Politik diartikan sebagai yang memegang kekuasaan. Masyarakat pun
menjadi jengah jika disebutkan kata tersebut karena politik sudah lekat sebagai
kata yang tidak terlepas dengan KKN (Korupsi Kolusi Nepotisme). Padahal,
seharusnya politik diartikan sebagai bagaimana cara/aturan untuk menuju kesejahteraan
rakyat bukan menuju pada kekuasaan.
Tiap kalian adalah pemimpin dan tiap kalian dimintai
pertanggungjawaban atas pemeliharaan urusan rakyatnya (orang yang diurusnya) (HR
Al Bukhari, Muslim, Ahmad, Abu Dawud, At Tirmidzi)