Selain hutang, salah satu pemasukan yang diusulkan untuk ditingkatkan hingga saat ini yaitu pajak. Sehingga tidak heran jika banyak muncul target baru sebagai objek pajak. Sebagai contoh pemerintah daerah Palembang yang mulai menarik pajak dari pedagang empek-empek. Apakah memang pajak hanya satu-satunya pilihan yang bisa diambil? Bagaimana dengan pengelolaan Sumber Daya Alam?
Sebagian besar SDA di Indonesia memang dikelola oleh swasta baik asing maupun lokal. Sedangkan Indonesia memperoleh keuntungan dari pengelolaan SDA oleh swasta melalui pajak. Sayangnya, sektor SDA ternyata menjadi sektor yang paling banyak melakukan pemangkiran pajak.
Saat ini memang pengelolaan SDA di Indonesia kental dengan aspek bisnis dan didukung oleh kebijakan politik yang akhirnya hanya mementingkan keuntungan materi khususnya bagi pemodal, para kroni, dan penguasa komprador yang berburu rente. Sehingga dibuat aturan-aturan yang melonggarkan investasi dan eksploitasi SDA. Hal ini sudah dilakukan sejak awal Orba dengan lahirnya UU/1/1967 tentang Penanaman Modal yang ditandai dengan masuknya PT Freeport. Ditambah di era reformasi yang disusul dengan lahirnya banyak undang-undang liberal (co. UU
Migas).
Bukan karena negara tidak mampu mengelola SDA tetapi dibutuhkan political will untuk mengubah mindset negara saat ini. Bahwa negara bukan sebagai pebisnis akan tetapi pengelola. Selain itu payung konstitusi pun dibutuhkan untuk mengakomodir mekanisme tersebut.
Jadi sekarang SDA Indonesia dikelola dengan sistem liberalis-kapitalis. Karena itu sudah seharusnya mengganti sistem liberalis-kapitalis ini dengan sistem lain yang solutif.
Berbeda dengan sistem kapitalis liberalis, Islam memiliki suatu model khas tersendiri dalam mengatur pengelolaan SDA. Pengaturan tersebut merupakan bagian syariat Islam terkait muamalah maliyah (sistem ekonomi).
Secara singkat Islam mengatur pengelolaan sumber daya alam agar bisa bermanfaat untuk mewujudkan kesejahteraan manusia sesuai prinsip-prinsip sebagai berikut:
Pertama, bahwa pemilik seluruh alam semesta beserta isinya adalah Allah SWT. Artinya, harta adalah milik Allah. Dia memberi hak penuh –secara umum- kepada manusia untuk menguasainya, maka dengan itu harta tersebut benar-benar menjadi hak miliknya. Dia pula yang mengijinkan setiap individu untuk mendapatkannya, sehingga dengan izinnya yang bersifat khusus itu harta tersebut benar-benar menjadi miliknya secara nyata.
Kedua, terkait kepemilikan ada tiga macam: pemilikan individu, pemilikan umum dan pemilikan negara.
Ketiga, SDA secara umum masuk ke dalam pemilikan umum. Pemilikan umum adalah izin Allah –selaku pembuat hukum- kepada jamaah (masyarakat) untuk memanfaatkan benda-benda secara bersama-sama.
Keempat, yang terkategori ke dalam pemilikan umum adalah sebagai berikut:
- Setiap sesuatu yang dibutuhkan masyarakat umum, yang jika tidak ada di suatu negeri atau komunitas akan menimbulkan sengketa dalam mencarinya; seperti sumber air, padang gembalaan, hewan dan sebagainya.
- Sumber daya alam (barang tambang) yang jumlahnya tidak terbatas, seperti sumber minyak; emas, perak, besi, tembaga, timah, batu bara dan sejenisnya, dan
- Benda-benda yang sifatnya tidak dibenarkan dimonopoli seseorang, seprti jalan, sungai, laut, danau, tanah-tanah umum, teluk, selat, gunung, hutan, dan sebagainya.
Kelima, negara mengelola kepemilikan umum hasilnya masuk dalam kas Baitul Mal pos harta milik umum. Kemudian negara mengembalikan hasilnya kepada rakyat baik dalam bentuk sesuai barang asalnya, maupun dalam bentuk layanan untuk kepentingan umum.
Keenam, negara melarang pengelolaan dan penguasaan sumber daya alam yang menjadi milik umum kepada swasta bahkan asing.
Ketujuh, negara akan membatalkan semua perjanjian kapitalis terhadap pengelolaan SDA yang pernah terjadi sebelumnya tanpa kompensasi apapun. Jika pun dituntut, maka kompensasinya adalah hasil kekayaan yang telah mereka eksploitasi selama ini. Mereka juga akan diminta membayar ganti rugi kerusakan alam yang diakibatkan eksploitasi yang dilakukan.
Kedelapan, negara mengeksploitasi SDA secara bijak dan berwawasan lingkungan agar SDA khususnya yang tidak bisa diperbarui bisa digunakan dengan sewajarnya dan bisa dinikmati generasi berikutnya. Terkait hal ini negara senantiasa menjadikan pertimbangan syariat yaitu agar Islam menjadi rahmat bagi alam semesta benar-benar bisa diwujudkan.